Tedhak Sinten
Tradisi kini semakin maju semakin hilang dalam jiwa masyarakat. Kita tentu banyak mengetahui pengaruh globalisasi seakan-akan menjadi penyebab utama hilangnya tradisi dalam jiwa masyarakat. Seperti halnya Tedhak sinten atau Turun Tanah.
Turun
Tanah atau tedhak sinten atau sering disebut
juga Ngedunke adalah suatu upacara dalam tradisi budaya Jawa yaitu tradisi
menurunkan anak setelah beranjak umur 7 bulan setelah lahir atau penyentuhan
terhadap bumi atau tanah yang pertama kali sejak dilahirkan. Umumnya Turun
Tanah biasanya disaksikan kerabat dekat dan warga disekitar lingkungan si
anak dengan dilengkapi dengan berbagai ritual yang bermacam macam, ritual turun
tanah biasanya diadakan di pagi hari kira kira jam 07.00 sampai jam 09.00
pagi yang terlebih dahulu diadakan doa bersama dan potong tumpeng kemudian dilanjutkan
dengan menggelar tikar di tanah dan menaruh barang barang seperti padi, pensil,
alat tulis, uang, alat-alat pertanian, serta berbagai penggambaran profesi
dalam kehidupan kita. Namun itu hanya mitos, dan tradisi yang merupakan
pengharapan atau doa yang tak terucap dari para orang tua serta moyang nya,
yang juga merupakan petuah yang tak terkelupas saja. Yang terharap bagi kedua
orang tuanya tentu saja adalah pengharapan bagi si anak agar menjadi orang yang
dapat berguna bagi bangsa negara dan tentunya kepada kedua orang tuannya. Ya,
di tanah Jawa khususnya di Desa Campurejo, Kec. Mojoroto, Kota Kediri, ada tradisi turun tanah. Dalam
budaya Jawa, upacara tedhak sinten adalah ritual yang sama pentingnya
dengan selamatan kelahiran, pernikahan
atau kematian. Namun tradisi menurunkan bayi untuk menginjakkan kaki ke tanah
ini sudah jarang dilakukan sehingga hampir punah. Di Desa Campurejo, Kec.
Mojoroto, Kota Kediri seorang warga menyajikan kembali ritual yang
menggambarkan proses seorang anak mulai berjalan tersebut. Sebelum dimulai acara, sang anak terlebih
dahulu didandani dengan pakaian khas Jawa. Lengkap dengan kepala tutup blangkon.
Jika wanita biasanya dirias dengan pakaian ala pengantin. Selanjutnya sang anak
diarak dengan menaiki andong. Sang anak dipindahkan dengan menaiki kuda bersama
dengan sang ayah. Kuda yang dikalungi jajanan anak ini, berjalan menuju lokasi
upacara. Sebelum memasuki upacara dilakukan pelepasan sekitar 20 burung merpati
sebagai simbol kebebasan, serta puluhan balon yang menggambarkan kegembiraan
anak-anak. Tedhak sinten sendiri merupakan upacara menjejakkan tanah. Sebelum
menjejakkan tanah, sang anak dituntun oleh orangtuanya untuk melangkah diatas
cobekan berisi sesaji makanan sejenis dodol dari beras ketan berwarna putih dan
merah serta beras kuning. Setelah itu
anak dituntun untuk menjejakkan kaki diatas tanah. Sang anak kemudian dituntun
ibunya dimasukan kedalam kurungan ayam, untuk memilih satu dari segala rupa
barang seperti padi, pensil, alat tulis, uang, alat-alat pertanian, serta
berbagai penggambaran profesi dalam kehidupan kita didalam kurungan tersebut.
Ini merupakan lambang bahwa si anak
suatu saat akan masuk ke dalam masyarakat luas sehingga harus mematuhi segala
macam peraturan, norma maupun adat istiadat yang berlaku di masyarakat.
Sementara ayam merupakan hewan yang gampang mandiri dan bisa mencari makan di
mana saja. Diharapkan si anak nantinya akan memiliki sifat-sifat mandiri
setelah dewasa kelak.
Semoga dengan artikel di atas hendaknya kita harus memiliki sikap dalam melestarikan budaya yang hampir punah ini agar moral dan kebudayaan bangsa Indonesia tidak akan pernah hilang dari generasi ke generasi berikutnya ... Amin :)
0 Comment:
Posting Komentar